Akhir-akhir ini, cerita-cerita tentang Kang Dedi Mulyadi (KDM) sering berseliweran di media sosial. Salah satunya tentang anak-anak yang dianggap nakal — bolos sekolah, keluyuran malam, berkelahi, atau meresahkan masyarakat — lalu diambil alih oleh Kang Dedi dan timnya. Mereka akan dibawa ke sebuah tempat “pembinaan” untuk diberi pembiasaan disiplin dan pembentukan karakter. Kadang ada unsur kegiatan ala militer: bangun pagi, baris-berbaris, kerja bakti, tapi dibalut dengan pendekatan humanis dan kultural khas Sunda.
Buat sebagian orang tua dan warga, ini dianggap angin segar. "Akhirnya ada yang berani bertindak tegas tapi tetap mendidik anak-anak ini," begitu kira-kira komentar yang sering muncul. Tapi, di sisi lain, saya jadi bertanya: apakah cara ini hanya solusi berani atau benar-benar membenahi akar masalah? Yuk, kita pelajari pelan-pelan.
Seperti Apa Pendekatan Kang Dedi?
Kang Dedi memang punya gaya khas: tegas tapi hangat. Anak-anak yang dibina olehnya tidak hanya “dikerasi”, tapi juga diberi ruang bicara, diajak diskusi, bahkan diajak memahami budaya Sunda seperti gotong royong, hormat pada orang tua, dan tanggung jawab sosial.
Programnya biasanya meliputi:
- Kegiatan fisik (baris-berbaris, kerja bakti)
- Ceramah kebudayaan dan etika
- Penguatan karakter lewat kegiatan sosial (misalnya membersihkan makam, masjid, dll.)
- Dialog — anak diajak cerita, curhat, menyampaikan unek-unek
Bedanya dengan pelatihan militer murni, pendekatan KDM lebih lembut dan membumi. Anak-anak tidak hanya disuruh patuh, tapi diberi pemahaman mengapa harus berubah.
Cocokkah dengan Filosofi Pendidikan?
Kalau kita ingat filosofi Ki Hadjar Dewantara — Ing Ngarso Sung Tulodo, pemimpin itu harus memberi teladan — pendekatan KDM cukup sejalan. Kang Dedi meneladani langsung:
- Ia turun ke lapangan
- Bicara dari hati ke hati
- Menggunakan kearifan lokal (budaya Sunda)
- Tidak serta merta menghukum, tapi mengasuh dengan tegas
Di sini, pendekatan humanis dan dialogis tetap ada. Anak diajak menyadari kesalahan, bukan sekadar takut. Inilah yang membedakan program KDM dengan pembinaan keras yang sekadar berorientasi pada hukuman.
Lalu, Peran Sekolah atau Madrasah?
Sebetulnya, yang dilakukan Kang Dedi adalah tugas alami sekolah atau madrasah seperti:
- Membina karakter
- Memberi ruang aman untuk curhat
- Membantu anak memahami nilai dan norma lewat pendekatan yang hangat
Kalau sekolah atau madrasah berfungsi optimal, mungkin kita tidak perlu “menitipkan” anak ke program seperti ini. Tapi realitanya, banyak sekolah atau madrasah yang:
- Minim konselor
- Kurang ruang dialog
- Fokus hanya pada akademik
Akhirnya, anak-anak yang punya masalah perilaku tidak terlayani dengan baik, dan orang tua kewalahan. Di sinilah Kang Dedi hadir sebagai penengah.
Apakah Program KDM Solusi Jangka Panjang?
Saya melihat, pendekatan ala Kang Dedi bisa jadi solusi berani yang manusiawi, asal ada tindak lanjut:
- Setelah anak pulang, ada pendampingan di sekolah dan keluarga
- Lingkungan (kampung, sekolah, RT/RW) ikut terlibat membina
- Ada program keberlanjutan agar perubahan perilaku tidak sekadar "efek jera sesaat"
Karena kalau cuma “dikembalikan” ke lingkungan lama tanpa perubahan sistemik, anak bisa saja kembali ke perilaku awal.
Jadi, Apa yang Bisa Kita Lakukan?
Buat kita — guru, orang tua, warga — yang paling bijak adalah:
- Belajar dari Kang Dedi: tegas boleh, tapi hangat harus
- Bangun komunikasi terbuka dengan anak
- Ciptakan lingkungan aman dan suportif di sekolah dan rumah
- Kompak satu kampung/satu komunitas dalam membina anak-anak
Karena anak nakal itu bukan musuh, mereka hanya anak-anak yang salah arah dan butuh dituntun pulang.
Penutup
Yang Kang Dedi lakukan menunjukkan bahwa tegas dan cinta bisa jalan bareng. Program seperti ini memang bisa jadi solusi berani, tapi jangan lupa pembenahan akar masalah di sekolah, keluarga, dan masyarakat tetap PR besar kita bersama. Karena pada akhirnya, anak-anak adalah cermin kualitas lingkungan kita. 🌿
Dan buat kamu yang sedang membaca tulisan ini — entah kamu guru, orang tua, atau sekadar tetangga yang peduli — terima kasih sudah mau ikut mikirin masa depan anak-anak kita. Mungkin mereka bukan anak kandung kita, tapi mereka anak zaman kita. Kalau bukan kita yang menuntun mereka, siapa lagi? Pelan-pelan, bareng-bareng. Kita rawat mereka, kita rawat Indonesia. ❤️