Di balik senyuman hangat dan semangat mengajar para guru Indonesia, tersimpan realita yang kompleks: jadwal yang padat, tanggung jawab administrasi yang menumpuk, bahkan kebutuhan ekonomi yang memaksa sebagian dari mereka untuk mencari penghasilan tambahan. Tak jarang, guru menjadi "manusia seribu peran"—mengajar, menilai, mendata, lalu mengojek atau berdagang selepas jam sekolah.
Lalu datanglah kebijakan baru dari Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah, melalui Surat Edaran Hari Belajar Guru—yang mewajibkan satu hari dalam seminggu bagi guru untuk belajar. Bukan untuk libur, bukan pula untuk rehat, tapi untuk kembali ke akar profesi guru: pembelajar sepanjang hayat.
Malu Belajar, Malu Bertanya, Malu Berkembang?
Kita harus mengakui, ada budaya diam yang melekat dalam dunia pendidikan kita. Di ruang guru, tak semua guru nyaman bertanya kepada teman sejawat. Ada rasa segan yang aneh ketika ingin belajar strategi mengajar dari guru lain. Apalagi jika guru itu lebih muda, atau bukan "guru senior".
Padahal, di dunia lain—seperti komunitas profesional kreatif atau startup—budaya saling belajar dan kolaborasi adalah kekuatan. Sementara di sekolah kita, budaya belajar kadang dibungkus ego: "Saya sudah puluhan tahun mengajar, tidak perlu belajar lagi."
Inilah mengapa Hari Belajar Guru bukan sekadar aturan, tapi ajakan untuk memulihkan jiwa profesi.
Ketika Menghidupi Profesi Harus Dibagi dengan Menghidupi Keluarga
Tidak sedikit guru—khususnya di daerah—yang harus memutar otak untuk menambah penghasilan. Gaji pokok tak selalu cukup. Maka mulailah aktivitas tambahan: jualan online, buka bimbingan belajar, kerja sampingan lainnya. Bahkan beberapa guru menjadi tulang punggung ekonomi keluarganya sendirian.
Di tengah kondisi ini, mewajibkan satu hari belajar dalam seminggu terlihat seperti beban baru.
Namun, jika dimaknai sebagai investasi jangka panjang, Hari Belajar Guru justru bisa menjadi jalan keluar. Dengan peningkatan kompetensi dan kemampuan, guru bisa:
- Meningkatkan kualitas mengajar (yang berdampak pada kepercayaan masyarakat).
- Membuka peluang profesional baru: menjadi pelatih, pembicara, mentor, penulis modul, bahkan konten kreator edukasi.
- Membangun komunitas belajar yang saling mendukung.
"Belajar bukan beban tambahan, tetapi fondasi untuk bertahan dan berkembang."
Dari Rutinitas ke Refleksi
Hari Belajar Guru bisa menjadi ruang untuk keluar dari rutinitas harian yang menumpuk. Bukan sekadar mengikuti pelatihan formal, tapi juga:
- Diskusi santai tentang praktik baik di kelas.
- Saling mengobservasi pembelajaran.
- Menganalisis hasil belajar murid bersama-sama.
- Menulis refleksi atau membuat konten pembelajaran kreatif.
Bayangkan jika setiap hari Jumat atau Rabu, para guru di sekolahmu berkumpul tanpa tekanan, hanya untuk satu hal: belajar dan tumbuh bersama. Maka sekolah akan menjadi ekosistem belajar yang hidup, bukan sekadar tempat bekerja.
Mari Bergerak Bersama
Kebijakan Hari Belajar Guru ini bukan solusi instan. Ia akan menghadapi tantangan budaya, logistik, dan bahkan resistensi. Tapi langkah kecil ini punya makna besar: menormalisasi belajar di kalangan guru.
Karena guru yang terus belajar, akan terus menyalakan semangat belajar di kelasnya.
Untuk para kepala sekolah dan pemangku kebijakan: beri ruang dan dukungan nyata untuk Hari Belajar Guru. Untuk para guru: mari menanggalkan rasa malu, gengsi, dan lelah untuk kembali menjadi pembelajar sejati. Karena masa depan anak-anak Indonesia sangat bergantung pada keberanian kita hari ini.
#HariBelajarGuru #GuruPembelajar #BudayaBelajar #KurikulumMerdeka