Belakangan ini, dunia pendidikan kembali diramaikan dengan wacana soal "penjurusan" di jenjang SMA. Ya, sistem lama yang sempat kita tinggalkan—IPA, IPS, Bahasa—dikabarkan akan dihidupkan kembali.
Mungkin di atas kertas ini terdengar seperti sekadar perubahan teknis. Tapi bagi para guru, siswa, dan sekolah, isu ini membawa lebih dari sekadar pergeseran kurikulum—ini tentang kegelisahan, adaptasi ulang, dan pertanyaan besar: apa kita akan terus begini?
Guru dan Sekolah Baru Saja Menemukan Iklim Nyaman
Sejak Kurikulum Merdeka diperkenalkan, banyak sekolah mulai terbiasa dengan sistem kelompok mata pelajaran pilihan. Konsep ini memberi ruang bagi siswa untuk belajar sesuai minat dan cita-cita mereka. Tidak ada lagi kotak-kotak "anak IPA harus jadi dokter" atau "anak IPS bukan anak pintar".
Guru pun mulai menemukan ritmenya. Jadwal jadi lebih fleksibel, penugasan guru bisa menyesuaikan jumlah siswa, dan pembelajaran terasa lebih hidup karena siswa memang memilih pelajaran yang mereka suka.
Menurut evaluasi dari Kemendikbudristek (2022), sistem mapel pilihan ini terbukti memberikan dampak positif:
- 73% sekolah merasa lebih fleksibel dalam pengelolaan guru dan jadwal.
- 68% guru lebih mudah mengenali minat dan potensi siswa.
- 60% siswa merasa lebih semangat belajar karena merasa punya kendali atas pilihannya.
Sumber: Evaluasi Implementasi Kurikulum Merdeka, Puslitjak Kemendikbudristek 2022.
Mapel Pilihan: Sekolah Bisa Lebih Cerdas Mengelola SDM
Di sebuah SMA negeri di Yogyakarta, penerapan sistem mapel pilihan ternyata berdampak nyata. Jam kosong guru bisa ditekan hingga 30% karena kombinasi mapel yang fleksibel membuat penjadwalan lebih efisien.Contoh lainnya datang dari seorang siswa bernama Raka. Ia bercita-cita menjadi desainer, dan berkat sistem ini, ia bisa memilih kombinasi Bahasa Indonesia, Seni Budaya, dan Informatika—sesuatu yang hampir mustahil jika ia dipaksa masuk jurusan IPA atau IPS.
Penjurusan Tradisional dan Masalah Lama yang Bisa Kembali
Kita tentu tak lupa bagaimana sistem penjurusan dulu membuat banyak siswa terkotak-kotak. IPA selalu jadi “anak emas”, IPS sering dianggap pilihan kedua, sementara jurusan Bahasa nyaris tidak dilirik.Riset LPMP Jawa Barat (2018) mencatat bahwa:
- 41% siswa jurusan IPA sebenarnya tidak berminat di bidang tersebut, tapi merasa “terpaksa” karena nilai bagus atau tekanan dari orang tua.
- Ketimpangan jumlah guru terjadi: guru MIPA menumpuk, sementara guru IPS dan Bahasa kekurangan jam mengajar.
"Dulu saya masuk IPA karena nilai saya tinggi, padahal saya suka sejarah dan ingin jadi penulis. Akhirnya kuliah pun pindah jalur total."
— Reza, Mahasiswa Semester 6, Universitas Negeri Malang
Gonta-Ganti Kebijakan, Siapa yang Bingung?
Masalah lain yang tak kalah penting adalah soal konsistensi kebijakan. Sejak 2013, kita sudah berganti kurikulum beberapa kali: Kurikulum 2013, revisinya, lalu Kurikulum Merdeka. Setiap kali berubah, sekolah harus menyusun ulang kurikulum, guru membuat perangkat ajar baru, dan siswa... ya, harus ikut bingung juga."Kami baru saja merasa nyaman. Sistem ini mulai cocok untuk kami dan siswa. Tapi sekarang harus berubah lagi?"
— Bu Sinta, Wakil Kurikulum SMA di Bekasi
Harapan: Jangan Sekadar Ulang Masa Lalu
Kita tentu paham bahwa setiap kebijakan lahir dari niat baik. Tapi kalau penjurusan akan kembali, harapannya sistem baru ini tidak serta-merta mengulang pola lama. Kita butuh jalan tengah—kombinasi antara fleksibilitas mapel pilihan dan struktur penjurusan yang efisien. Intinya, jangan abaikan apa yang sudah berjalan baik.Penutup: Dengarkan Suara Lapangan
Perubahan itu wajar. Tapi perubahan yang terlalu cepat dan tanpa fondasi kuat bisa membuat dunia pendidikan kehilangan arah. Jika suara guru dan siswa diabaikan, maka setiap kebijakan baru hanya akan menjadi pekerjaan administratif tanpa makna.Semoga siapa pun yang menyusun kebijakan pendidikan ke depan benar-benar mau mendengar suara mereka yang paling terdampak—guru, siswa, dan sekolah.